1. Hadits adalah
segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas,
dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an.
2.
Hadist Mutawatir
Dari
segi bahasa, mutawatir berarti sesuatu yang datang secara beriringan tanpa
diselangi antara satu sama lain .
Hadist
Mutawatir berarti hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta
dari sejumlah rawi sampai akhir sanad. Maksdunya Hadits mutawatir itu adalah
hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut akal mereka tidak mungkin
sepakat berbuat dusta, dan banyaknya rawi ini ini seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya dalam setiap tingkatan (tabaqat/generasi).
3. Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai arti "satu". Hadits
Ahad menurut istilah adalah "hadits yang belum memenuhi syarat-syarat
mutawatir". Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, 'Aziz,
dan Gharib.
1.
Masyhur (atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh) menurut bahasa adalah
"nampak". Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah :
"Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap
thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir"
2.
'Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts
'Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : "Suatu hadits yang
diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya".
3.
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib
secara istilah adalah : "Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi secara sendiri". Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang
perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan
tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan
yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai
hadits gharib). Sebagian ulama’ lain
menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
-
Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana
kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat).
Misalnya hadits Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam : "Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada
niatnya" [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Hadits
ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini
diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari
‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa'id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim.
Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin
Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang
shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
- Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi;
yaitu apabila ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal
sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang
perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini
diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi
tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu
'anhu : "Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan
mengenakan penutup kepala di atas kepalanya" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib
nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu
(Nuzhatun-Nadhar oleh Ibnu Hajar hal. 28 dan Taisir Musthalah Al-Hadits oleh
Mahmud Ath-Thahhan hal. 28).
- Gharib Muthlaq,
disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan
terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : "Bahwa
setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya" [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
4.Hadist Hasan
وَالحَسَنُ المَعْروفُ طُرْقـاً وَغدَتْ * رِجَالَهُ
لا كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ
Hadits
Hasan adalah hadits yang jalur periwayatannya ma’ruf.. akan tetapi perawinya
tidak semasyhur hadits shahih.
Ketika
Syaikh Abussatar mendapati syair ini, beliau mengkritiknya dan berkata:
وَالْحَسَنُ الْخَفِيْفُ ضَبْطًا إِذْ غَدَتْ * اشْتَهَرَتْ هُ لا كَالصَّحِيحِ اشْتَهَ
Hadits hasan adalah hadits yang ke-dhabith-an perawinya
ringan dan perawinya tidak semasyhur
hadits shahih.
Dari
matan diatas, maka dapat disimpulkan definisi hadist hasan adalah hadits yang bersambung
sanadnya yang dibawakan oleh perawi yang adil namun ringan dhabithnya dengan
tanpa syad dan ‘illat.
5.Hadist shahih
Pengertian
hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan
oleh rawi yang tsiqah Serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits
tersebut.Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal.
6.Hadits Maudhu
الحديث secara bahasa berarti الجديد,
yaitu sesuatu yang baru, selain itu hadits pun berarti الخبر , berita. Yaitu
sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang yang lain.
Sedangkan موضع merupakan derivasi dari kata
وضع – يضع – وضعا yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada
atau membuat-buat.
Adapun
pengertian hadits maudhu’ (hadits palsu) secara istilah ialah:
ما
نسب الى رسول الله صلى الله عليه و السلام إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره
apa-apa
yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan dan memperbuatnya.
Dr. Mahmud Thahan didalam
kitabnya mengatakan,
اذا
كان سبب الطعن فى الروى هو الكذ ب على رسول الله فحد يثه يسمى الموضع
Apabila
sebab keadaan cacatnya rowi dia berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya
dinamakan maudhu’. ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)
Dan pengertiannya secara
istilah beliau mengatakan
هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب
الى رسول الله صلى الله عليه والسلام
Hadits
yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada Rasulullah ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)
7. Istishab
Pengertian Al Ihtihsab secara
bahasa yaitu menuntut bersahabat, atau menuntut beserta atau mencari rekan dan
menjadikannya sahabat.
Pengertian istishab menurut ulama ushul fiqh membawa
maksud menetapkan hukum pekerjaan yang ada pada masa lalu, kaerna disangka
tidak ada dalil pada masa yang akan datang.Menurut Al-Asnawy (772 H) bahwa
istishab adalah penetapan hukum terhadap suatu perkara dimasa selanjutnya atas
dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal
yang mengharuskan terjadinya perubahan hukum tersebut.Sementara menurut imam As
Syaukani bahwa arti istishab yaitu menghukumkan sesuatu hukum sama seperti
hukum pada masa lalu sehingga ada dalil yang mengubahnya. Sedangkan menurut
Ibnu Qayim Istishab yaitu menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau
meniadakan suatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah
kedudukannya.Jadi dari pengertian diatas, istishab adalah menjadikan hukum
suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa
berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.Jadi dari
pengertian di atas, istishab adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah
ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil
yang mengubah ketentuan hukum itu.
8. Al-Mashlahatul-Mursalah.
Al-Mashlahatul-Mursalah (Maslahah mursalah)
ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan
kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syar’i dalam wujud hukum dalam rangka
menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau yang
menyalahkan. Karenanya maslahah mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak
terdapat dalil yang mnyatakan benar atau salah.
Berdasar pada
pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata
dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Maksudnya, didalam rangka
mencari yang menguntungkan, dan menghindari kemudharatan manusia yang bersifat
sangat luas. Maslahat ini merupakan sesuatu yang berkembang berdasarkan
perkembangan yang selalu ada disetiap lingkungan. Mengenai pembentukan hukum
ini, kadang-kadang tampak menguntungkan pada suatu saat, tetapi pada suatu saat
yang lain justru mendatangkan mudharat . begitu pula pada suatu lingkungan
tertentu mnguntunkan, tetapi mudharat bagi lingkungan lain. Kemudian, mengenai
maslahah yang dituntut oleh keadaan dan lingkungan baru setelah berhentinya
wahyu, sementara syari’ belum mensyariatkan maslahah-maslahah yang dikehendaki
berdasar tuntutan itu, disamping juga tidak terdapat dalil syara’ yang mengakui
atau menyalahkan maslahah-naslahah itu, biasa disebut sebagai
Al-Munasibul-Mursal atau Al-Maslahatul-mursalah.
9.Adat
Secara etimologi, adat berasal dari bahasa Arab adah yang
berarti kebiasaan. Jadi secara etimologi
adat dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan berulang-ulang lalu
menjadi kebiasaan yang tetap dan dihormati orang, maka kebiasaan itu menjadi
adat
0 komentar:
Posting Komentar